Sabtu, 30 Oktober 2010

Kisah sedih seorang anak kecil kehilangan tangan karena mencoret mobil ayahnya..


Ayah, maafkan Dita...

Sepasang suami istri (seperti pasangan lain di kota2 besar meninggalkan anak2 diasuh pembantu rumah tangga sewaktu bekerja).
Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sendirian di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.

Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya...karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini!!!..."

Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga terkejut. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, "Saya tidak tahu..tuan." "Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?" hardik si istri.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yang membuat gambar itu ayahhh..cantik kan..!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.
Si ayah yang sudah kehilangan kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.

Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya pada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab si pembantu ringkas. Kasih minum Panadol saja," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur, ia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik..Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan..." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut... "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi...

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah..ibu..Dita tidak akan melakukannya lagi... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi...Dita sayang ayah...sayang ibu.", katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah...kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil? Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?.. Bagaimana caranya Dita mau bermain nanti?.. Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi." katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata2 anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun apa yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski ia sudah meminta maaf.

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran batin sampai suatu saat sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan ia wafat diiringi tangis penyesalan yang tak bertepi.

Namun...si anak dengan segala keterbatasannya dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya...

"Sering dalam hidup kita bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu...dan tanpa kita sadari tindakan itu dapat membawa penyesalan seumur hidup kita...
So...berpikirlah dahulu sebelum bertindak!!!"

source:  http://nowilkirin.blogspot.com

Terima Kasih, Sahabatku...

Aku mengenalmu tanpa sengaja, mencoba akrab denganmu menjalani persahabatan yang indah, saling melengkapi satu sama lain. bersatu dalam ikatan persaudaraan..

Kelak suatu saat jika kita sudah punya kehidupan masing-masing, aku akan ceritakan pada dunia bahwa aku bahagia punya sahabat sepertimu Mega Herra Ike Pramita..
^^

Sangat sulit mencari sesuatu yang bernama SAHABAT karena itu bagi siapapun yang sudah menemukan sesuatu yang bernama Sahabat harap jagalah hubungan itu, rekatkan ikatannya jangan sampai terputus tali ikatannya sungguh bersyukur mereka yang telah menemukan sesuatu yang bernama Sahabat.


Wahai Sahabat tetaplah menjadi sahabatku, yang senantiasa menasehatiku, yang senantiasa merelakan waktumu untuk mendengarkan keluh kesahku, yang senantiasa memberiku semangat, yang senantiasa mensupportku untuk selalu maju menjadi yang terbaik, yang senantiasa mengingatkanku disaat aku lalai.


Wahai Sahabat terima kasih atas segala kebaikan akhlaqmu, terima kasih atas segala nasihat-nasihatmu, terima kasih atas segala semangat dan dukungan yang senantiasa kau berikan kepadaku, terima kasih atas segala peringatanmu, terima kasih atas segala waktumu, terima kasih karena telah mau menjadikan diri ini sebagai sahabatmu, terima kasih atas segala yang kau berikan untukku, terima kasih untukmu sahabat.


Wahai sahabat kutahu banyak kesalahan yang tanpa kusadari dan tanpa kusengaja telah kulakukan dan kutahu pula banyak kekeliruan yang tanpa sadar telah terlontar dari lisanku yang mungkin tanpa kutahu telah menyinggung dan menyakiti perasaanmu, sahabat kuharap maafmu atas segala kesalahan dan kekeliruan yang telah kuperbuat. Maafkanku Sahabat.........


Wahai Sahabat dimanapun kau kini, kurindu akan nasehat-nasehatmu, kurindu akan berbagi cerita hari-hariku, kurindu akan kehadiranmu disisiku. Sahabat dimanapun kau kini kuharap selalu ada senyum yang menghias di wajahmu, kuharap selalu ada senyum ceria yang senantiasa terpancar diwajahmu, semoga kau bahagia sahabat.



Ya Robb jagalah sahabatku, lindungilah ia dengan perlindunganMu, kuatkanlah ia dlm menjalani kehidupannya agar selalu teguh berada dijalanMu, kuatkanlah jasadnya dengan segala anugerahMu, kuatkan ruhnya dengan ruhMu, buat ia tersenyum, semangat dan istiqamah dijalanMu, ya Allah izinkanlah kami kelak bisa bertemu di surgaMu. Amiiiin


Terima kasih Sahabat.

Rabu, 27 Oktober 2010

Cinta Tanpa Syarat..

Seorang pemuda yang telah dikirim menjadi prajurit dalam sebuah peperangan. Setelah lama bertempur di medan perang,pemuda itu akhirnya diperbolehkan pulang.. Sebelum kembali k kampung, ia menelpon kedua orang tuanya.

"ibu, ayah, aku sedang menuju pulang. Tapi,sebelum sampai, aku ingin menanyakan satu hal. Aku punya seorang teman yang ingin ku bawa pulang bersamaku. Bolehkah?"

Tentu"kami senang bertemu dengan temanmu itu." tapi ada satu hal yang harus ibu dan ayah tahu,temanku ini sedang terluka akibat perang. Ia kehilangan satu tangan & satu kakinya. Ia tak tahu kemana harus pulang,dan aku ingin dia tinggal bersama kita. "oh kasihan sekali,"mungkin kita bisa mencarikannya suatu tempat tinggal."
"Tidak ibu,ayah, aku ingin dia tinggal bersama kita."
"Anakku",kamu tidak tahu apa yg sedang kamu pinta, seseorang yang cacat akan menjadi beban untuk kita..sebaiknya kamu pulang saja dan lupakan temanmu itu. Ia pasti akan menemukan cara sendiri untuk hidup.

Sang pemuda lama terdiam. Lalu ia menutup telpon. Beberapa hari kemudian,ayah dan ibunya mendapat kabar dari kepolisian. Bahwa seorang pemuda telah bunuh diri dengan cara melompat dari sebuah gedung. Dari identitasnya bahwa pemuda itu adalah anak lelaki mereka.. Dengan sedih, kedua orang tua itu datang k tempat kejadian,dan yakin bhw jenazah itu putera. Namun mereka yang membuat mereka terkejut adalah:jenazah itu hanya memiliki satu tangan dan satu kaki..

Teman, Tunjukanlah cinta anda bukan KARENA akan tetapi WALAUPUN...

sumber:  http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1905566-cinta-tanpa-syarat/

Cinta Laki-laki Biasa..

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa
dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata
sama herannya.

“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania
terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia
hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan
detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi
kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga
generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa
serta buntut mereka.

“Kamu pasti bercanda!”

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak
tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir
dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania
yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap
Nania!

“Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.

“Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira
Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah
itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata
penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.

“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama
siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus
iya, toh?”

Nania terkesima.

“Kenapa?”

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.

“Nania Cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium
empat. Parah.

“Tapi kenapa?”

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi
menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di
mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang
dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan
yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga.
Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari
Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan
kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar
hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan
mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat
perempuan itu sangat bahagia.

“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.”

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”

“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”

“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu
bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka
sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan
satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin
setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji
Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak
terlalu memforsir diri.

“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu
khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik.

“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan
gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua
minggu dari waktunya.

“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!”

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya
normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit.
Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar
mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara
kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit
dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit.
Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

“Baru pembukaan satu.”

“Belum ada perubahan, Bu.”

“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.

“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan
pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab
dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan
mereka meleset.

“Masih pembukaan dua, Pak!”

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit
yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin
payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

“Bang?”

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

“Dokter?”

“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu
kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah
sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa
berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang
bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

“Pendarahan hebat.”

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya.
Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si
kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah
sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak
famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu
bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

“Nania, bangun, Cinta?”

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi
dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya
mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah
sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian
ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

“Nania, bangun, Cinta?”

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat
lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan
ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya
yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering
lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah
penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun
tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania
mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah
selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah
perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata
Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan
keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan
di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang
di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada
Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.

“Baik banget suaminya!”

“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”

“Nania beruntung!”

“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”

“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana
suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian.
Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali
selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu
kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia,
meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki
biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania

sumber:  http://achmatim.blogsome.com/2005/08/12/cinta-laki-laki-biasa/

Senin, 18 Oktober 2010

Mandikan Aku, Bundaa….

Cerita ini sangat cocok sebagai bahan renungan bagi kita semua, terutama yang sehari-hari sangat disibukkan dengan aktivitas kerja dan profesi lainnya. Semoga bermanfaat

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter
mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.”

Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kamimasih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.

Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.

Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

dari:http://www.family-writing.com/renungan/mandikan-aku-bunda.html/

Hanya Ingin Kau Bahagia

mungkin kau baru mengenalku,.. tapi aku akan selalu hadir untukmu..
mungkin kau akan mengacuhkanku,.. tapi aku akan selalu mendengarkanmu..
mungkin kau akan menyakitiku,.. tapi aku akan selalu tersenyum kepadamu..
mungkin kau akan membenciku,.. tapi aku akan selalu menyayangimu..
mungkin kau akan melupakanku,.. tapi aku akan selalu memimpikanmu..
mungkin kau akan meninggalkanku,.. tapi aku akan tetap menunggumu..
mungkin kau merasa sedih,.. tapi aku akan tetap disini menghiburmu..
mungkin kau merasa takut,.. tapi aku akan tetap disini menjagamu..
mungkin kau merasa kehilangan,.. tapi aku akan tetap disini untukmu..

Mungkin benar adanya bahwa kebahagiaan itu hadir pada diri orang lain untuk kita. Sejatinya menyayangi tidak harus memiliki, karena yang terpenting dia bahagia dan itu cukup untuk kita meski harus kehilangan.
Rasa sayang tidak menuntut untuk menerima, yang bisa dilakukan hanya memberi dan terus memberi sampai dia tumpah dan kemanapun tumpahan itu jatuh kita yakin dia bahagia meski kita tetap bersembunyi dibalik layar.

perasaan sayang tidak selalu harus terucap, sering kali dia membisu dan melakukan yang terbaik yang bisa diberikan tanpa harapan akan balasan, karena kita hanya ingin dia bahagia meski tanpa kita disisinya.


Melukis Dalam Imajinasi (seraut wajah) (CERPEN)

"Para penumpang yang terhormat, lima belas menit lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Sukarno Hatta, untuk keamanan silahkan diam ditempat dan gunakan sabuk pengaman terima kasih"
        Suara co.Pilot pesawat Garuda Indonesia membangunkan Nina dari tidurnya, walau cuma tidur sebentar sudah mampu mengusir ngantuknya, apalagi ketika Nina tahu sebentar lagi akan mendarat, rasanya Nina sudah tidak sabar untuk segera turun dan bertemu dengan orang-orang yang sangat dirindukannya. Nina sengaja tidak memberi tahu kepulangannya kepada keluarganya, karena dia ingin memberi kejutan terhadap keluarganya, terlebih lagi kepada calon suaminya, lelaki yang dikenlnya lewat chating dan telah melamarnya setahun yang lalu. Walau Nina belum pernah sekalipun melihat wajah calon suaminya itu, namun cintanya untuk sang pujaan hati begitu tulus. Maklum setiap kali mereka bertemu lewat chating, calon suaminya selalu tidak ada webcam, jadi selama setahun menjalin hubungan otomatis Nina hanya mengenal suaranya saja. Pernah Nina meminta foto pada calon suaminya itu namun calon suaminya menolak dengan alasan dia tidak suka difoto jadi tidak memiliki foto.
         "Para penumpang yang terhormat, kita telah mendarat dengan selamat dan terima kasih telah memilih Garuda Indonesia untuk perjalalan anda, semoga hari anda menyenangkan"
        Suara co.Pilot kembali menggema, satu persatu para penumpang keluar dari kabin pesawat. Nina segera menuju keloket pemeriksaan paspor, setelah selesai ia langsung menuju bagasi untuk mengambil koper. Kali ini Nina sengaja tidak keluar melalui terminal 2, selain tidak ada yang menjemput, Nina penasaran ingin tahu kondisi terminal 3 yang banyak diceritakan teman-temannya. Makanya ketika petugas bandara menggiringnya keterminal 3, Nina hanya menurut, begitu pun ketika oknum-oknum petugas bandara mulai beraksi Nina pun hanya mengikuti aturan main, ia tidak mau terlalu lama berurusan dengan mereka, yang ada dalam pikirannya dia ingin cepat sampai kerumah walau sebenarnya ia ingin berontak.
       Bus travel yang membawa Nina dan rombongan mulai bergerak meninggalkan bandara, dari bandara bus meluncur kearah tanggerang menuju tol cikampek, ketika mendekati kawasan tol cikampek tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, dan begitu lewat tikungan cikampek dari arah berlawanan tiba-tiba muncul mobil truk dengan kecepatan tinggi. Karena situasi hujan deras dan jalanan yang licin membuat supir bus travel yang membawa Nina dan rombongan kehilangan kendali sehingga tabrakan antar bus dan truk pun tidak bisa dihindari, kedua kendaraan yang sama-sama besar pun terpental dan terbalik, suara dentuman keras mengagetkan semua orang yang berada dikawasan cikampek.

      Sepuluh jam pasca kecelakaan, Nina siuman dari pingsannya, kalimat hamdalah menggema memenuhi gendang telinga Nina, dan ia sangat hafal dengan suara-suara yang sedang mengucapkan kalimat hamdalah itu
       "Alhamdulilah ya Allah Nina sudah sadar pak, Na ini ibu dan bapak juga calon suamimu Rijal ada disini, kamu bisa dengar Na?" Bu Ercih cemas, dari suaranya terlihat sekali ia sangat mengkhawatirkan keadaan anaknya. Nina menangis, ia sangat menyesal telah membuat ibunya sedih dan tangisnya kian menjadi saat ia merasakan pandangannya begitu gelap.
       "Ibu dimana? Kenapa gelap sekali, apa sedang mati lampu?" Nina panik, tangannya berusaha menggapai sesuatu, dengan sigap bu Ercih meraih tangan anaknya
        "Ibu disini Na, disebelah kanan mu, kamu harus kuat menerima kenyataan ini ya Na" Dengan sekuat tenaga bu Ercih berusaha untuk tegar menyampaikan sesuatu yang ia yakin takkan mampu diterima anaknya bahwa Nina harus kehilangan penglihatannya untuk selamanya kecuali ada pendonor mata. Hal itu sudah Dokter sampaikan kepada orang tua Nina, bahwa kornea mata Nina mengalami kerusakan akibat serpihan kaca, dan hal itu pun sudah diketahui oleh Rijal calon suaminya.
       Jerit tangis Nina membahana memenuhi ruangan tempatnya dirawat, menarik perhatian pengunjung rumah sakit. Nina berusaha melepas perban yang menempel dimatanya, namun bu Ercih dan pak Wiryo segera mencegahnya
        "Sabar Na, sabar" Bu Ercih berusaha menenangkan anaknya
        "Istighfar ukhti, istighfar" Rijal berseru tak mau kalah, Nina terus menangis putus asa
        "Biarkan Nina mati bu, untuk apa Nina hidup, Nina sudah cacat, tidak akan ada yang mau sama orang cacat bu!" Ratapnya pilu, bu Ercih hanya bisa menangis
        "Istighfar ukhti, jangan melawan takdir, ambil hikmahnya yakinlah Allah tidak akan menguji umat-Nya diluar batas kemampuan" Rijal terus berusaha menasehati Nina, berharap kekasihnya ikhlas dan sabar menghadapi kenyataan yang baru saja menimpanya
        "Nina sudah cacat akhi, Nina tidak pantas lagi menjadi istri akhi" Ucapnya putus asa. Rijal terkejut mendengar kalimat yang dilontarkan calon istrinya itu, namun dia bisa menguasai dirinya, dengan tenang dan mantap dia pun berucap
         "Ukhti...Seperti yang pernah saya ucapkan didepan bapak dan ibu dulu juga kepada ukhti, bahwa apapun yang terjadi dan bagaimana pun kondisi ukhti, saya siap menerima ukhti apa adanya"
         "Akhi tidak malu mempunyai istri buta?" Nina masih ragu dengan ucapan Rijal
          "Demi Allah tidak ada sedikit pun perasaan itu ukhti, niat saya menikahi ukhti karena Allah, sudahlah ukhti jangan bahas masalah itu, sekarang yang penting ukhti sembuh dulu, saya janji tidak akan meninggalkan ukhti, Insya Allah" Janjinya, senadainya Nina telah halal baginya betapa Rijal ingin merengkuh pujaan hatinya itu kedalam pelukannya untuk meyakinkan betapa cintanya tidak berkurang sedikitpun dengan kondisinya yang sekarang. Bu Ercih dan pak Wiryo saling pandang penuh haru, dihati mereka begitu bahagia dan bangga juga menaruh harapan yang besar terhadap calon menantunya itu.
       Nina sedikit mulai bisa tenang, walau sisa-sisa tangisnya sesekali terdengar, rasa putus asa yang tadi sempat menyerang jiwanya berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan kebahagiaan dan segudang harapan.

         Tiga bulan pasca kecelakaan, Nina telah benar-benar sembuh total walau ia harus mengalami kebuataan. Dan seperti yang pernah diucapkan dihadapan kedua orang tua Nina, Rijal memenuhi janjinya untuk menikahi Nina. Pada awalnya pesta pernikahan akan dilaksanakan dengan meriah, karena bagi orang tua kedua belah pihak, pesta itu adalah untuk yang pertama, terlebih lagi bagi orang tua Rijal yang termasuk orang kaya di Jakarta, Namun Rijal dan Nina menolak rencana kedua orang tua mereka, sehingga akhirnya pesta pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun kidhmat.
        Tamu undangan satu persatu mulai meninggalkan arena pesta dan pulang kerumah masing-masing. Nina masuk kamar didampingi Rijal, ketika sampai didalam kamar, Nina duduk ditepi tempat tidur dengan menunduk, hatinya berdebar kencang, sementara Rijal dengan mata berkaca-kaca tengah memandang wajah Nina. Rijal lalu menghampiri Nina, kemudian tangan kanannya memegang ubun-ubun istrinya dan membaca doa barakah diamini oleh Nina, setelah itu Rijal membimbing Nina untuk mengambil air wudhu lalu keduanya shalat, selesai sholat dan berdoa, untuk yang pertama kalinya Rijal mencium kening istrinya.
        "Suamiku bolehkah aku menyentuh wajahmu, agar aku bisa melukiskan seraut wajahmu dalam imajinasiku" Pinta Nina tiba-tiba. Rijal hanya tersenyum mendengar permintaan istrinya itu, tanpa menjawab pertanyaan Nina, diraihnya tangan Nina dengan lembut lalu dibimbingnya kearah wajahnya. Dengan gerakan pelan tangan Nina menyusuri wajah Rijal, ia mencoba melukis wajah suaminya kedalam kanvas imajinasinya, namun selalu gagal sehingga Nina merasa sedih dibuatnya.  Tangisnya pecah dan itu membuat Rijal panik.
        "Kenapa menangis sayang, apakah aku telah menyakitimu?" Tanyanya hati-hati, Nina menggeleng, dan itu membuat Rijal semakin kebingungan
        "Lalu kenapa menangis, saya minta maaf jika ada sikap saya yang telah menyakitimu istriku" Lanjutnya masih dengan suaranya yang lembut
        "Sa..saya gagal" Ucap Nina terbata "Gagal melukis wajahmu dalam imajinasiku, saya tak bisa mengenali wajahmu atau pun memiripkan wajahmu dengan orang-orang yang pernah saya lihat" Tangis Nina semakin menjadi. Tiba-tiba Rijal merasa bersalah, ia sangat menyesal tidak mengabulkan permintaan Nina dulu ketika Nina meminta fotonya. Ditariknya nafas dalam-dalam seolah ingin melepaskan sebuah sebak yang tiba-tiba menyesaki dadanya, tanpa Rijal sadari airmatanya telah menyusuri pipinya. Beruntung Nina tidak bisa melihatnya sehingga hanya dia sendiri yang tahu akan tangisannya. Direngkuhnya Nina kedalam pelukanya
        "Sudahlah sayang jangan menangis, tak perlu bersedih, aku tidak menuntutmu untuk menghafal wajahku, kesetiaanmu lebih kuharapkan, aku akan menjagamu semampuku, jangan menangis lagi kumohon" Katanya lembut, Rijal tidak ingin menyakiti perasaan istrinya lagi. Nina mengangguk lalu ia berusaha tersenyum dan Rijal lega melihatnya
         "Maaf kan saya mas, tak seharusnya malam pertama ini dilalui dengan keluhan, saya minta maaf " Ucapnya lirih penuh penyesalan
         " Tidak ada yang salah sayang, sudah malam sebaiknya kita istirahat, mas lelah sekali seharian terima tamu" Ajak Rijal, dikecupnya kembali kening istrinya. Nina menuruti ajakan suaminya lalu keduanya berbaring. Rijal berusaha memejamkan matanya, ia benar-benar kelelahan, namun tidak dengan Nina, ia tidak bisa tidur .
         "Mas.." Sahut Nina pelan
         "Iya?" Jawab Rijal siangkat tanpa membuka matanya
         "Saya berharap suatu hari nanti bisa melihat wajahmu"
Rijal membuka matanya, dipandangi wajah istrinya yang tirus ada rasa yang menghentak-hentak dalam jiwanya
        "Insya Allah istriku dan yakinlah Allah pasti akan memberikan jalan, andai kata didunia kau tak bisa melihat wajahku, insya Allah diakherat kelak Allah akan mengabulkan keinginanmu, asalkan kita tetap lurus dijalan-Nya" Rijal menyemangati istrinya, untuk yang ketiga kalinya kembali dikecup kening istrinya
         "Amin..." Timpal Nina lirih, ia merasakan ketenangan mendengar kalimat dari suaminya itu, lalu keduanya tidur dengan pulas.


  Seminggu setelah pernikahan, Rijal memboyong Nina ke Jakarta, ia tidak bisa lama-lama berada dikampung halaman istrinya karena pekarjaannya menuntutnya untuk tidak lama-lama meninggalkan perusahaan yang dipimpinnya. Dengan berat hati bu Ercih melepas anak semata wayangnya untuk ikut bersama suaminya. Bu Ercih percaya pada Rijal, ia yakin menantunya tidak akan mungkin menyia-nyiakan anaknya.
        Dijakarta Nina tinggal diperumahan Garden City jakarta timur, yang jika Nina tahu perumahan itu terlalu mewah bagi seorang Nina. Diperumahan itu Rijal sudah menyiapkan seorang pembantu yang siap melayani dan membantu kebutuhan Nina.
       Minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun, kehidupan rumah tangga  Nina dan Rijal penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah kehadiran putra pertama mereka, kebahagiaan itu terasa semakin lengkap bagi keduanya.
       "Mah ada berita baik dan berita buruk, mau yang mana dulu?" Tanya Rijal suatu malam saat anak mereka yang masih berumur lima bulan sudah tidur. Rijal kini memanggil istrinya dengan panggilan mamah
       "Yang baik dulu" Jawab Nina singkat. Rijal memperbaiki posisi duduknya lebih mendekat kearah istrinya
       "Tadi siang Ferry temen papa yang jadi Dokter specialis mata mengabarkan, bahwa sudah ada donor mata untuk mamah, operasi seminggu lagi akan dilaksanakan" Rijal berhenti sejenak. Nina tersenyum bahagia
       "Dan berita buruknya, kemungkinan saat mamah operasi  papa gak bisa temenin karena harus keBandung ngurus tender, tapi papa janji begitu operasi selesai dan mamah membuka mata, maka papa sudah ada dihadapan mamah" Lanjut Rijal berjanji, senyum Nina kian mengembang. Nina sudah tidak sabar ingin segera dioperasi agar ia bisa melihat seraut wajah suami dan anaknya.

        Waktu yang ditentukan pun tiba. Ditemani kedua orang tua serta mertuanya, Nina menjalani operasi mata diRumah sakit Harapan Bunda Jakarta Timur. Sementara Rijal tidak bisa hadir karena ada urusan bisnis diBandung.
       Diluar ruangan operasi bu Ercih dan pak Wiryo serta besannya menanti dengan harap-harap cemas, saat dalam keheningan yang penuh dengan kecemasan, tiba-tiba muncul Dina adik kandung Rijal dengan berurai air mata, mengabarkan kalau Rijal mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Harapan Bunda, dan sekarang tengah dirawat diRumah Sakit Medistra Jakarta Timur. Kontan berita itu membuat tangis bu Brata dan bu Ercih pecah, suasana diluar ruang operasi gaduh. Konsentrasi meraka terpecah, akhirnya diputuskan pak Brata dan istrinya yang pergi keRumah Sakit Medistra, sementara bu Ercih dan pak Wiryo tetap menunggu sampai operasi selesai dilakukan.
       Empat jam lamanya Nina berada diruang operasi, dan operasi mata telah selesai dilakukan, tim Dokter puas dengan kerja keras mereka. Bu Ercih dan pak Wiryo pun tak kalah bahagia mendengarnya, namun kebahagiaan mereka menjadi berkurang karena pikiran mereka masih terbagi dengan memikirkan kondisi menantunya.
       Dua jam kemudian, perban yang menutupi mata Nina dibuka oleh Dokter Ferry, bu Ercih dan pak Wiryo menanti dengan jantung berdebar. Nina membuka matanya perlahan, kemudian ia mengerjapkanya berkali-kali lalu Nina menatap kedua orang tuanya satu persatu, senyum Nina merakah.
       "Alhamdulilah saya bisa melihat lagi bu!" Serunya bahagia. Bu Ercih dan pak Wiryo mengucapkan hamdalah bersamaan lalu keduanya memeluk Nina dengan penuh sayang dan bahagia.
       "Bu, mas Rijal belum datang juga, umi sama abi kemana?" Tanya Nina, ia teringat dengan janji suaminya yang akan datang setelah operasi selesai, ia juga ingat waktu sebelum masuk ruangan operasi mertuanya ada disitu. Wajah bu Ercih seketika berubah jadi sendu, dan Nina bisa membaca dengan perubahan raut muka ibunya itu
        " Apa yang telah terjadi bu, katakan bu, katakan!" seru Nina panik
        "Sabar Na, sabar" Bu Ercih berusaha menenangkan putrinya
        "Nina tidak akan tenang jika ibu tidak memberi tahu, katakan ada apa bu saya mohon" Ratap Nina memelas
        "Suamimu kecelakaan, sekarang ada dirumah sakit Medistra" Akhirnya pak Wiryo angkat suara, walau sebenarnya pak Wiryo juga tidak ingin merusak kebahagiaan anaknya yang baru saja mendapatkan penglihatannya kembali
         " Kita kesana sekarang!" Ajak Nina seraya bangkit dari pembaringannya
         "Na kamu habis operasi nanti saja menunggu kondisi kamu pulih dulu"
         "Saya baik-baik saja bu, mas Rijal butuh saya!"
Nina tidak memperdulikan larangan ibunya, ia terus saja melangkah keluar dari Rumah Sakit Harapan Bunda, diikuti pak Wiryo dan istrinya dari belakang, lalu ketiganya menyetop taksi  dan meluncur keRumah Sakit Medistra.

        "Maaf suster pasien yang bernama Muhammad Rijal Brata dirawat diruangan mana?" Tanya Nina kepada suster penjaga, ketika sudah berada diRumah Sakit Medistra. Suster penjaga tampak heran, kemudian suster itu membuka buku daptar pasien, sementara Nina tampak tidak sabar dan gelisah.
           "Kak Nina?" Suara seorang perempuan memanggil namanya, ia menoleh kearah suara yang memanggilnya barusan. Seorang perempuan cantik dengan jilbab warna biru tua langsung menghambur kearahnya dan memeluk sambil menangis. Nina baru menyadari jika perempuan itu adalah adik iparnya
           "Ini Dina kan?" Tanya Nina penasaran
           "Betul kak, Subhanallah kakak bisa melihat lagi" Ucap Dina disela tangisnya
            "Dimana mas Rijal?" Tanya Nina tak sabaran
            " Mari ikut saya kak" Ujar Dina lirih.

       Ternyata Dina membawa meraka kekamar mayat, disana Nina melihat banyak polisi juga ada seorang ibu yang tengah menangis dipelukan suaminya. Nina sudah bisa menduga jika perempuan setengah baya itu adalah mertuanya, dan benar saja dugaan Nina, begitu ibu itu melihat kedatangan Nina dan rombongan, ibu itu langsung menghambur kepelukan Nina bahkan tangisnya kian keras dan pilu menyayat hati.
       Nina sudah menduga jika suaminya telah meninggalkan dia untuk selama-lamanya, rasanya Nina belum siap dengan semua itu, tangisnya pecah. Ingin rasanya Nina tak sadarkan diri agar ia tidak merasakan beban yang begitu berat namun anehnya ia tidak bisa, justru ada hasrat yang tiba-tiba menyerang hatinya untuk melihat wajah suaminya meski untuk yang terakhir kali. Namun keinginannya harus dikuburnya dalam-dalam, saat pihak dokter yang mengotopsi mayat suaminya melarang Nina melihat wajah suaminya dengan alasan wajah mayat rusak parah dan tidak bisa dikenali lagi, jika pun Nina memaksa melihat, dikhawatirkan kondisi kejiwaan Nina akan syok berat.
       Akhirnya Nina hanya bisa memeluk mayat yang tertutup kain putih dan menagis sejadi-jadinya menumpahkan semua sebak yang dari tadi menganjal didadanya.
     Jiwanya hancur mendengar keterangan dari Dokter dan polisi, semua rencana indah yang telah disusun bersama suaminya telah musnah dalam sekejap.

     Ya Allah..jika dengan kembalinya penglihatanku, dan Engkau ambil suamiku untuk selamanya, lebih baik aku buta selamanya ya Allah asalkan suamiku tetap disisiku. Jerit hatinya pilu. Ruangan jenazah kini diselimuti dengan suasana duka yang mendalam, sehingga membuat para polisi dan yang hadir disitu ikut terhanyut kedalamnya.
          "Mah...!" Suara seorang lelaki memanggil Nina yang masih memeluk jenazah sambil menagis, dan Nina sangat hafal dengan suara itu. Reflek semua yang hadir diruangan itu menoleh kearah suara yang barusan memanggil Nina.
       Ditengah-tengah pintu berdiri seorang lelaki tampan berjanggut tipis serta memakai pakaian setengah santri setengah modis menatap kearah Nina dengan tatapan penuh kerinduan. Nina balas menatap lelaki itu, hatinya tak berani menduga jika lelaki itu adalah suaminya yang selama ini dirindukanya, sehingga bibirnya terasa kelu untuk menyebutkan sebuah nama.
      Lelaki yang ternyata Rijal itu mendekat kearah Nina, lalu diraihnya tangan Nina dan dibimbingnya untuk menyentuh wajahnya. Nina memejamkan mata mencoba melukiskan sesuatu dalam imajinasinya
         "Aku Rijal suamimu, ayah dari Aria anak kita" Bisik Rijal lembut
Nina membuka matanya, ditatapnya seraut wajah yang selama ini dirindukannya, dalam hati ia mengagumi ketampanan suaminya itu, tidak seperti gambaran dalam imajinasinya selama ini. Akhirnya tangisan bahagia Nina pecah dalam pelukan suami yang dirindukannya, semua yang berada diruangan jenazah kini menangis bahagia
         " Terus siapa mayat ini?" Tanya bu Brata disela tangisnya. Rijal melepas pelukan istrinya, seketika wajahnya berubah jadi sendu, dengan suara parau ia berusaha menjelaskan
        "Dino mi, dia pinjam mobil saya karena hari ini istrinya melahirkan, dirumah sakit Harapan Bunda, saya sudah mencegahnya untuk pulang bersama saya nanti ba'da sholat dzuhur, tapi Dino tidak mau karena dia ingin menyaksikan bagaimana anaknya lahir" Cerita Rijal lirih
        "Innalillahi wa'inna illahi roji'un.." Ucap semua yang hadir diruangan itu serempak.